JAKARTA | Dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia, negara ini pernah tiga kali mempercayakan posisi Jaksa Agung pada figur yang awalnya berlatar belakang partai politik, yaitu Baharuddin Lopa, Marzuki Darusman dan Muhammad Prasetyo.
Dikhawatirkan bila Jaksa Agung merupakan “orang partai” yang besar kemungkinan akan memunculkan konflik kepentingan, baru baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Jaksa Agung Tak Boleh dari Pengurus Partai Politik. Putusan ini tetuang dalam nomor 6/PUU-XXII/2024.
Putusan MK ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, karena jabatan Jaksa Agung bukanlah jabatan politik. Di tangan Jaksa Agung inilah diharap keadilan bisa ditegakan. Itu artinya peluang para profesional bisa menjadi Jaksa Agung tentu akan terbuka lebar.
Berbagai kalangan meyakini, dalam pemerintahan Prabowo – Gibran, akan terpilih Jaksa Agung yang benar-benar profesional dan terbebas dari berbagai kepentingan. Belakangan sejumlah nama tokoh mulai bermunculan, salah seorang tokoh yang disebut-sebut berpotensi menjadi Jaksa Agung yaitu Dr. Didi Tasidi, SH, MH, Ketua Umum Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI).
Munculnya nama Didi Tasidi disambut positif oleh Ketua HAPI Sumbar DR Anul Zufri SH MH. Menurut pria yang bergelar Sutan Rajo Pahlawan ini, berbekal pengelaman sebagai Ketua Umum Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia, Didi Tasidi diyakini akan mampu mempimpin kejaksaaan menegakkan hukum secara konsisten tanpa dibebani kepentingan politik.
Anul secara tegas mengatakan, Jaksa Agung pada kepemimpinan Prabowo - Gibran nanti paling tepat dijabat dari profesional seperti Didi Tadisi. Ia diharap bisa untuk memutus berbagai kepentingan politik dan intervensi parpol.
Jaksa Agung adalah posisi strategis dalam ranah hukum sebagai alat penegak hukum negara. Independensinya sangat diperlukan dalam pemaknaan yang jelas dan terang. Kejaksaan yang independen hanya berarti bebas intervensi,” ujar Anul.
(*)
0 Komentar